“
Dan di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya untuk meraih keridhaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun terhadap hamba-hamba-Nya”. (Al-Baqarah: 207)
Setiap orang ingin merasa bahagia. Hanya saja tidak semua orang tahu bagaimana cara meraih kebahagiaan. Ada yang berfikir bahwa bahagia bisa dirasakan ketika seseorang memiliki banyak harta. Dengan harta yang melimpah, kekuasaan mudah didapat, segala kebutuhan jasmani dan rohani bisa terpenuhi. Kebahagiaan bisa dibeli, begitu kira-kira. Pola pikir semacam ini ada benarnya, tapi tidak tepat. Tidak perlu jauh-jauh untuk membuktikannya, lihat saja ke sekeliling kita, atau bacalah berita di berbagai media massa. Jika harta yang dijadikan tujuan untuk bisa merasa bahagia, maka hasilnya bisa dilihat: korupsi di mana-mana, pencurian, perampokan, dan penipuan selalu terjadi berulang-ulang.
Sebagian lain menyangka bahwa kebahagiaan itu hanyalah fatamorgana, khayalan, dan ilusi manusia semata. Kenyataan hidup yang mereka alami tidak pernah membuktikan adanya kebahagiaan yang bertahan lama. Semua serba sesaat dan sementara belaka. Dugaan yang seperti ini kemudian melahirkan manusia-manusia yang mengejar pemuasan hawa nafsu. Ketika nafsu itu terpenuhi mereka merasa puas dan bahagia, meski hanya sesaat. Hasilnya dapat kita lihat: perzinaan, penggunaan narkoba, mabuk-mabukan, dan penyimpangan moral lainnya merebak di mana-mana.
Di sinilah cahaya Islam dibutuhkan untuk menerangi hidup manusia agar benar-benar bisa hidup damai, tentram, dan penuh dengan kebahagiaan. Salah satu cara agar kita bisa merasakan kebahagiaan yang hakiki adalah dengan ridha Allah. Kalau Allah ridha, maka kehidupan kita seluruhnya tidak lain hanyalah kebahagiaan, baik itu duniawi dan ukhrawi. Jalan untuk mencapai ridha Allah adalah dengan cara membuat diri kita sendiri ridha dengan semua ketentuan Allah. Ini tidak mudah, oleh karena itu butuh usaha keras dan pengorbanan sebagaimana yang telah disebutkan dalam kutipan ayat di awal tulisan ini.
Keutamaan Ridha Allah
Kata ridha berasal dari bahasa Arab ra-dhi-ya yang berarti: rela, senang, suka, perkenan, menerima dengan sepenuh hati, dan menyetujui secara penuh. Secara istilah, ridha dapat diartikan sebagai sikap suka dan lapang dada terhadap sesuatu. Kata ini bisa dikaitkan dengan Allah dan manusia. Jika dikaitkan dengan Allah, maka ridha Allah merupakan bentuk dukungan, rahmat, dan keberkahan terhadap sesuatu. Kalau dikaitkan dengan manusia, ridha berarti menerima segala hal yang terjadi pada dirinya. Kata padanannya (sinonim) adalah ikhlas dan lapang dada. Ridha inilah yang menjadi kunci bagi kebahagiaan hakiki yang dapat kita rasakan di dunia dan akhirat.
Keutamaan dari keridhaan Allah ini disebut-sebut dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Di antaranya adalah menghasilkan keuntungan dua kali lipat (Al-Baqarah: 265), orang yang mengikuti keridhaan Allah tidak mendapat bencana, tapi malah mendapat nikmat serta karunia yang besar (Ali Imran: 174), pahala yang besar (An-Nisa: 114), ampunan dan pahala yang besar (Al-Fath: 29). Janji Allah berupa surga sebagai tempat kesudahan yang baik diperuntukkan bagi mereka yang mendapatkan ridhaNya. Bahkan bagi sebagian Muslim yang menempuh jalan penyucian diri (sufi), keutamaan-keutamaan dari keridhaan Allah bukanlah apa-apa dibanding dengan ridha Allah itu sendiri. Bagi para sufi, ridha Allah itulah yang dikejar dan mereka pun ridha atas apapun yang Allah berikan, baik itu berupa nikmat atau cobaan.
“Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya”, kalimat ini terdapat di dalam surat Al-Maidah: 119, At-Taubah: 100, Al-Mujadalah: 22, dan Al-Bayyinah: 8. Dalam tafsir Muyassar, kalimat itu berarti: Allah menerima semua amal shaleh hamba-hambaNya, dan mereka pun ridha dengan segala karunia yang Allah berikan kepada mereka. Keterangan serupa dalam tafsir Sa’di menyebut bahwa Allah menerima segala amalan yang diridhaiNya. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa tingkatan ridha Allah itu lebih tinggi dari nikmat yang Dia anugerahkan kepada hambaNya. Dengan kata lain, nikmat yang kita rasakan saat ini belum ada apa-apanya dibanding dengan ridha Allah kepada kita. Hal ini sebagaimana disebut dalam surat At-Taubah ayat 72, “Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar”.
Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra.: Bahwa Nabi saw. bersabda: Sesungguhnya Allah berfirman kepada penghuni surga: Hai penghuni surga! Mereka menjawab: Kami penuhi seruan-Mu wahai Tuhan kami, dan segala kebaikan ada di sisi-Mu. Allah melanjutkan: Apakah kalian sudah merasa puas? Mereka menjawab: Kami telah merasa puas wahai Tuhan kami, karena Engkau telah memberikan kami sesuatu yang tidak Engkau berikan kepada seorang pun dari makhluk-Mu. Allah bertanya lagi: Maukah kalian Aku berikan yang lebih baik lagi dari itu? Mereka menjawab: Wahai Tuhan kami, apa yang lebih baik dari itu? Allah menjawab: Akan Aku limpahkan keridaan-Ku atas kalian sehingga setelah itu Aku tidak akan murka kepada kalian untuk selamanya. (HR. Muslim)
Bagaimana Cara Mencapai Ridha?
Kita tidak pernah bisa memastikan apakah amalan yang kita lakukan telah sesuai dengan keridhaan Allah. Kita hanya bisa berusaha sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan sunnah Nabi-Nya. Namun demikian, bukan berarti bahwa keridhaan Allah itu sesuatu hal yang tidak bisa dicapai. Usaha kita mencapai keridhaan Allah bukanlah mencari kepastian, tapi merupakan suatu proses yang berkesinambungan tanpa berkesudahan. Ada dua cara untuk menjalani proses tersebut sebagai upaya mencapai keridhaan Allah.
Pertama, mengerjakan hal-hal yang telah disebutkan oleh Al-Qur’an dan hadits sebagai sesuatu yang mendatangkan keridhaan Allah. Ada beberapa petunjuk yang bisa kita ikuti dalam Al-Qur’an dan hadits, di antaranya:
- Takut kepada Allah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Bayyinah ayat 8 yang berarti, “Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” Takut kepada Allah ini hanya bisa dirasakan oleh mereka yang benar-benar mengetahui dan merasakan kehadiran Tuhan. Hal ini tercantum dalam Al-Qur’an yang artinya, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir: 28).
- Taqwa kepada Allah. Manusia memang diberi sifat untuk mencintai hal-hal yang menyenangkan di dunia sebagaimana ada di dalam surah Ali Imran ayat 14 yang artinya, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” Namun demikian ada yang lebih baik dari itu semua dan hanya diberikan kepada orang yang bertaqwa, “Katakanlah: “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) istri-istri yang disucikan serta keridaan Allah: Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya” (QS. Ali Imran: 15). Ayat berikutnya (QS. Ali Imran 16-17) menyebut sebagian ciri taqwa, yaitu: memohon ampunan Allah, sabar, benar, taat, dan menafkahkah hartanya.
- Beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah merupakan sikap dan perbuatan yang mendatangkan keridhaan Allah, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an, “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridaan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal” (At-Taubah: 20-21)
- Berbakti pada orang tua, “Keridhaan Allah tergantung pada keridhaan orangtua, dan murka Allah pun terletak pada murka kedua orangtua” (HR. Al-Hakim).
Tentu ini hanya disebutkan sebagian saja tentang hal-hal apa saja yang bisa dilakukan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Secara umum bisa dikatakan bahwa seluruh perbuatan kita bisa dijadikan sarana untuk mendapatkan keridhaan Allah, jika didasarkan pada niat yang ikhlas semata-mata karena Allah. Dengan kata lain, kita harus membuang jauh-jauh perbuatan yang diniatkan untuk meraih keridhaan selain Allah. Sebagaimana dalam satu hadits disebutkan
“Barangsiapa membuat Allah murka untuk meraih keridhaan manusia, maka Allah murka kepadanya, dan menjadikan orang yang semula meridhainya menjadi murka kepadanya. Namun barangsiapa membuat Allah ridha, meskipun mengundang kemurkaan manusia, maka Allah akan meridhainya, dan membuat orang yang murka menjadi meridhainya, sehingga Allah memperindahnya, memperindah ucapannya dan perbuatannya dalam pandangan-Nya” (HR. Ath-Thabrani)
Proses kedua yang bisa dilakukan adalah mengupayakan diri kita sendiri mencapai ridha, yaitu sikap menerima dengan lapang dada dan senang terhadap apapun keputusan Allah. Dalam tradisi sufi, proses untuk mencapai sikap ridha ini dilalui dengan beberapa tahapan atau disebut dengan maqamat. Al-Qusyairi menyebut dalam risalahnya beberapa tahapan, yaitu: taubat, wara, zuhud, tawakkal, sabar, dan ridha. Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyatakan hal serupa dengan membuat sistematika maqamat yang dimulai dari taubat, sabar, faqir, zuhud, tawakkal, mahabbah, ma’rifat dan ridha. Tokoh-tokoh lain seperi Al-Thusi, Al-Kalabadhi, Ibnu Arabi, dan Ibnu Athaillah juga menyebut ridha sebagai salah satu maqam penting yang harus dilalui seorang sufi.
Siapa pun bisa mencapai maqam ini jika dilakukan secara sungguh-sungguh melalui latihan-latihan spiritual (riyadhah nafsiyah) yang diawali dengan kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit hati dengan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah. Ada juga yang berpendapat, seperti Ibnu Atha’illah, bahwa sesungguhnya suatu maqam dicapai bukan hanya karena usaha dari seseorang, melainkan semata anugerah Allah SWT. Namun demikian, anugerah Allah ini diberikan kepada mereka yang bersungguh-sungguh untuk mencapai ridhaNya.
Al-Ghazali melihat bahwa proses mencapai ridha ini harus dilalui dengan beberapa tahapan (maqamat). Sehingga setiap maqam merupakan buah dari maqam yang diperoleh sebelumnya. Dalam hal ini, maqam ridha, menurut Al-Ghazali merupakan buah dari mahabbah dan ma’rifat sehingga hati seseorang rela menerima apa saja dan hatinya senantiasa dalam keadaan sibuk mengingat Allah. Dengan demikian, setiap maqam tidak lain adalah sebuah perjalanan spiritual yang membawa kita untuk mengalami setiap tahapan demi tahapan mencapai keridhaan Allah.
Ridha = Bahagia
Ibnu Mas’ud pernah berkata, “Sesungguhnya Allah SWT – dengan keadilan dan ilmuNya – menjadikan kesejahteraan dan kebahagiaan pada yakin dan ridha; serta menjadikan kesusahan dan kesedihan pada kegalauan, kekesalan, dan kemurkaan.”
Dalam beragam studi tentang kebahagiaan dilakukan penelitian untuk menguji dampak kepemilikan (possession) dan pengalaman (experience) terhadap seseorang. Hasilnya lagi-lagi menegaskan kebijakan pengetahuan agama dan spiritual. Kepemilikan terhadap sesuatu ternyata hanya memberi sensasi kebahagiaan sesaat. Oleh karena itu kenapa orang terkena penyakit shopaholics (gila belanja) karena ingin terus merasakan kegembiraan sesaat yang hilang setelah belanja. Berbeda dengan “pengalaman” yang memberikan dampak lebih permanen terhadap kebahagiaan seseorang. Beragam riset membuktikan bahwa merajut pengalaman penuh makna dalam keseharian adalah salah satu melentingkan kebahagiaan seseorang. Pengalaman yang bermakna ini bisa meliputi segala hal yang terjadi dalam hidupnya dan disikapi dengan penuh ridha.
Hal inilah yang pernah dilakukan oleh sahabat Shuhaib bin Sinan ketika melakukan hijrah, meninggalkan semua hartanya dengan niat penuh ikhlas untuk mencapai keridhaan Allah. Hatinya pun ridha terhadap apa yang sedang dan akan terjadi pada dirinya. Sebagian tafsir mengenai ayat yang disebut di awal tulisan, menyebut tindakan yang dilakukan oleh Shuhaib ini adalah bentuk pengorbanan diri semata-mata karena berharap ridha Allah. Pengalaman semacam inilah yang mengundang kebahagiaan lebih permanen dalam kehidupan seseorang. Dengan ridha, hilanglah segala ketidaksenangan dari hatinya, sehingga yang tersisa hanyalah kegembiraan dan kesenangan dalam hatinya.
“Allahumma innaa nas’aluka ridhaaka wal jannata, wa na’udzubika min sakhatika wan naar!”